Kamis, 31 Juli 2008

Srandul


Darimanakah kesenian Srandul, banyak orang yang tidak tahu tentang hal ini. Termasuk para seniman Srandul dari desa Gunung Ungaran yang pada malam purnama 17 juli 2008 kemarin lusa pentas di Gedong Putih Mojosongo. Sepertinya mereka setuju bahwa kesenian itu adalah kesenian turun-temurun dari para pendahulunya.
Ada yang memaknai bahwa Srandul mempunyai kaitan dengan kisah tentang sumpah Kanjeng Sunan Kalijaga kepada pengikutnya. Konon, wali itu begitu gemas menyaksikan mereka hanya tetembangan dan mendendangkan pujian-pujian sembari menabuhi apa saja, sementara serambi masjid yang sedang direnovasi belum rampung. Padahal, pelafalan salawat mereka sangat tidak fasih alias pating srandul. Maka, jadilah srandul.
“Memang sulit menjelaskan asal-usul srandul” kata mereka. Mereka juga tak mempermasalahkan kebenaran kisah tentang Sunan Kalijaga itu. Yang pasti, telah turun-temurun mereka menjadikan srandul sebagai medium berkesenian sekaligus ritual kebudayaan. Srandul mereka pakai sebagai medium untuk ritus sedekah bumi atau ruwatan atau kalau ada pageblug (bencana). Dahsyatnya, mereka selalu nyrandul semalam suntuk!
Hanya diiringi dua angklung yang diberi ornamen bulu unggas, sebuah kendang sebagai penanjak, dan sebuah gong tiup dari bambu (instrumen khas kesenian lengger dari Banyumas), serta sekelompok penggerong, 16 adegan dikemas. Itu masih diawali adegan jejer 12 pemain, semacam prelude dan untuk berdoa (semacam suluk dalam pewayangan). Namun yang dipentaskan di Gedong Putih kemaren hanya sepenggalannya saja, dengan durasi kurang lebih 2 jam. Mereka membawakan srandul badut sawahan. Badut? Ya, 16 adegan yang ada selalu diembel-embeli kata ''badut''. Misalnya, ''Badut Ngarep'' (adegan I), ''Badut Manuk''(II), atau pengakhir adegan ''Badut Kuthut''. Ceriteranya adalah tentang seorang yang mempunyai sawah yang luas namun tak kuasa mengolahnya.
Ada kesan, sesuatu yang pating srandul, bagi mereka, hal ini dimanifestasikan dengan cara membadut. Dialog-dialog antara pemain dengan kru selalu berupa upaya ''membanyol'', meskipun diucapkan dengan nada datar.
Tapi, badut dan membadut pada pertunjukan srandul tidak bisa diidentifikasi begitu saja dengan ungkapan ''menghibur secara murahan''. Bagi mereka, itu sebuah ritus. Boleh jadi, doa, tari, dialog berkesan ''membanyol'' dan atraksi bernuansa mistis seperti menelan obor untuk merampungi pertunjukan adalah medium ritual paling pas untuk berhubungan dengan Tuhan.
Pembadutan bisa jadi cara paling representatif buat mereka untuk bisa ''akrab'' dengan Sang pencipta. Kalau tidak untuk itu, mengapa mereka menyebut Tuhan sebagai Mas Pangeran dalam doa mereka? Bukankah panggilan ''mas'' dalam keseharian adalah panggilan akrab? ( Suara Merdeka, 21 sept 2002)
Acara yang diselenggarakan oleh Gedong Putih ini adalah kegiatan rutin setiap bulan purnama sebagai upaya melestarikan budaya dan kesenian tradisional. Dengan kegiatan ini maka diharapkan menjadi sarana sosialisasi tentang adanya kesenian tradisi dimasyarakat sehingga tidak hilang atau tergerus oleh kesenian-kesenian kontemporer saat ini.

Kombor, juli 2008

Foto oleh Bejo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar